Senin, 17 Oktober 2011

The Famous Matterhorn

Pada suatu hari, saya dibuat tertarik oleh sebuah ajakan teman saya, Iwa, yang sudah dua tahun tinggal di Swiss dan cukup aktif juga menulis blog seputar pengalamannya hidup di Swiss. (blognya bisa dicek di http://sobara.wordpress.com/). Ajakan yang lucu ini tidak akan pernah saya lupakan.

'Mau ikut naik ke gunung yang ada di kemasan cokelat Toblerone, nggak?'

Tanpa pikir panjang lagi, sebagai seseorang yang lumayan gila petualangan, saya ikut dengannya ke kota Zermatt yang ditempuh sekitar dua jam perjalanan dari kota Bern. Lalu, dari Zermatt, kami naik ke 'Gunung Toblerone' dengan menumpang sebuah cable car.

Tunggu dulu! Sepertinya ada yang salah. Nama gunungnya apa ya? Masak terus-terusan kita sebut 'Gunung Toblerone'?

Ya, sampai sekarang, jika mengingat bentuk gunung tersebut yang memang cukup unik, di otak saya akan terlintas kata 'Toblerone'. Special thanks untuk teman saya itu, yang membuat penyebutan gunung ini jauh lebih mudah secara mengasosiasikannya dengan cokelat Toblerone. Rasanya, sampai kapanpun juga, saya akan mengingat gunung ini sebagai 'Gunung Toblerone'. :p

Gunung ini sendiri bernama Matterhorn. Gunung tersebut selalu ditutupi es dan salju karena ketinggiannya yang mencapai 4.478 meter. Ketinggian tersebut membuatnya menjadi gunung tetinggi di Kawasan Alpen dan salah satu yang tertinggi di Eropa.

Anyways, kenyataan itu sempat membuat saya bangga, karena dengan berkunjung ke Matterhorn, berarti saya sudah mengunjungi tiga dari beberapa puncak tertinggi di Swiss (dan juga Eropa). Dua lainnya adalah puncak Stockhorn (ketinggian 2.190 meter, lihat postingan Saturday Hiking ) dan Monte San Salvatore (sekitar 1.000 meter, lihat postingan Lugano ). Meskipun tidak semuanya dilalui dengan cara mendaki karena terbantu dengan fasilitas cable car, tapi menikmati pemandangan indah dari ketinggian selalu menghasilkan kesenangan tersendiri, bukan? :)

MP

The Chocolate Factory (without the Oompa Loompas)

Saya ingat waktu saya masih kecil, setelah membaca buku karangan Roald Dahl, Willy Wonka and the Chocolate Factory, saya sampai kebawa mimpi makan ratusan permen cokelat. Lalu, sekitar enam tahun lalu, dirilislah film Charlie and the Chocolate Factory buatan Tim Burton yang dibintangi Johnny Depp sebagai Willy Wonka si pemilik pabrik cokelat. Sampai pada saat itu, pengalaman di sebuah pabrik cokelat hanyalah sebatas angan-angan belaka. Belum pernah terpikirkan dalam pikiran saya bahwa suatu hari nanti akan mengunjungi sebuah pabrik cokelat.

Namun, saat itu akhirnya datang juga. Pada hari Sabtu, 15 Oktober 2011, saya dan beberapa orang teman berkunjung ke sebuah pabrik cokelat di Broc. Di sini kami melihat langsung proses pembuatan cokelat serta sejarah singkat industri cokelat di Swiss, yang pada akhirnya menguasai dunia.

Cerita singkatnya, pada abad ke-19, seorang pengusaha bernama Francois-Louis Cailler mengusulkan sesuatu yang berbeda dari cokelat yang beredar di pasaran. Cailler mengemas cokelat menjadi lebih praktis, yaitu cokelat batangan. Ide ini menarik perhatian dua orang pengusaha lain, yang pada akhirnya menjadi trio pionir industri cokelat di Swiss dan bahkan Eropa. Kedua pengusaha itu adalah Charles Kohler, pengusaha pertama yang memadukan biji hazelnut di dalam cokelat, dan Henri Nestle. Nama terakhir, tentu saja kita kenal sebagai pengusaha yang mengembangkan susu produksi asli Swiss. Di saat inilah perpaduan cokelat-susu (milk-chocolate) pertama kali dilakukan dan menjadi makanan yang sangat digemari di seluruh dunia sampai sekarang.

Di zaman sekarang, ketiga nama pengusaha tersebut telah menjadi brand tersendiri. Cailler dan Kohler tetap menjadi market-leader produsen cokelat di Swiss. Nama mereka juga tidak terpisahkan dari berbagai kemasan cokelat yang beredar di toko-toko. Sedangkan Nestle? Siapa sih yang nggak pernah dengar nama perusahaan raksasa dunia ini?

Oke, sudah cukup ya ceritanya... Beberapa foto dari dalam pabrik cokelat tersebut bisa dilihat di bawah ini:

bahan-bahan baku berupa cokelat dan hazelnut (kacang mede) yang belum diproses

proses dilakukan oleh mesin pembuat cokelat tersendiri

you can see the chocolates there, fresh and new

buat yang berminat, ada kelas pembuatan adonan cokelat nih

berbagai bentuk cokelat yang lucu-lucu

okay, saya tidak perlu makanan lain untuk makan siang :p

always look elegant and delicious

MP

Ticino Trip part.4 (the rest of Locarno)

'Could you take my picture? 'Cause I won't remember...'
(Take A Picture by Filter)

Setelah dari Valley Verzacca, kami sempat jalan-jalan di kota Locarno yang besarnya paling hanya sepertiganya kawasan Bintaro (ini sedikit berlebihan, tapi kali aja bener :p).

Berikut ini beberapa fotonya:

Hari yang cerah identik dengan berkumpul untuk makan di restoran ala Italia

Castello Visconteo yang tidak lekang dikikis zaman

MP

Ticino Trip part.3 (Locarno)

Sori banget nih, kepotong seminggu antara postingan Ticino trip ke-dua sama yang ke-tiga ini. sibuk soalnya (sibuk nyari kesibukan) :p

sampai di mana yaa ceritanya? mmm... anyways, sudah saya ceritain kan kalau trip ke Ticino ini saya tempuh dengan cara menggabung di sebuah tur yang diadakan kampus? nah, salah satu kerugian ikut dalam suatu rombongan tur adalah, gerak-gerik kita terbatas. Meskipun tidak terlalu suka dengan tempat yang kelompok tur tersebut kunjungi, kita mau tidak mau harus tetap stick to the group. Itulah yang terjadi pada saya dan beberapa teman sewaktu kelompok kami berada di kota Locarno.

Saat itu, bus membawa kami ke sebuah lembah bernama Valley Verzacca. Kami pun melakukan hiking di sepanjang lingkungan pedesaan yang hijau asri dan udaranya segar. Kebanyakan anggota tur kami yang sebagian besar cewek-cewek juga sering jejeritan karena mereka menyukai view di tempat ini. Pemandangannya memang lumayan menyegarkan mata. Air sungai yang mengalir di sepanjang lembah itu benar-benar bening dan jernih. Saking jernihnya, saya tidak ragu-ragu untuk mengisi botol air minum saya dengan air sungai. Hal yang tidak mungkin kita lakukan di sungai-sungai negara dunia ketiga.

do you see how clean the water is?

Namun, saya dan teman-teman cowok, harus diakui, tidak terlalu terkesan. Teman-teman saya, para pria Skandinavia dari Finlandia dan Denmark, mengeluhkan rute hiking yang terlalu 'enteng'. Lagipula, saya bisa mengerti mereka. Sungai dan pedesaan di dataran skandinavia sana, toh, bisa dipastikan tidak kalah indahnya dengan lingkungan di bagian selatan Swiss ini.

Saya sendiri juga kurang lebih mendapat kesan demikian. Terlepas dari pemandangan sungai yang memang teramat indah bagai lukisan, saya tidak terlalu terkesan dengan sungai tersebut. Bisa dibilang, yaah, saya ke Swiss tidak untuk mencari lembah atau sungai karena di Indonesia sendiri kita bisa menemukan berbagai aliran sungai di landscape yang tak kalah memikat.

Jika kejernihan air dikesampingkan, saya berani menjagokan sungai-sungai di pedesaan Indonesia tidak kalah dari Swiss, hehehe.

rasanya pemandangan air terjun di pelosok pedesaan kabupaten Malang ini nggak kalah, deh.

MP

Selasa, 11 Oktober 2011

Ticino Trip part.2 (Lugano)

Coba pikirkan salah kaprah dalam geografi yang sering terjadi. Kalau buat para bule, pasti sering banget salah kaprah kayak gini: mereka mengira Bali adalah negara sendiri, bukan bagian dari Indonesia. Nah, kalau saya, dulu sering salah kaprah bahwa Lugano adalah sebuah kota di Italia.

Setelah sampai di Swiss, untungnya saya langsung tahu bahwa itu salah. Lugano adalah kota terbesar di Kanton Ticino. Kota yang sangat indah dikelilingi pegunungan dan danau menakjubkan.

Kami menginap di salah satu hostel di kota Lugano. Namun, kota tersebut adalah kota kecil dengan penduduk hanya sekitar 55-ribu jiwa. Jadi, city-sightseeing hanya berlangsung sekitar sehari. Setelah itu, kami memutuskan untuk hiking. Tujuan kami saat itu adalah salah satu gunung yang mengelilingi kota Lugano, yaitu Monte San Salvatore.

Italia identik dengan apa, anak-anaaak? Ya pizza doong :p

Mencapai puncak Monte San Salvatore tidaklah sulit. Kami menumpang cable car sampai ke puncak, bersama para wisatawan lain yang datang dari berbagai daerah/negara. Perjalanan ke puncak hanya ditempuh kurang dari tiga puluh menit.

Setelah sampai di puncak, rasa takjub pun tanpa sadar menyusup ke setiap sanubari (cieeh, bahasanya). Maklum, pemandangan Lake Maggio (Danau Lugano) dari atas terlihat seperti lukisan yang hanya bisa diciptakan oleh kreasi Sang Maha Pencipta.

Che bellissimo! :)

MP

Ticino Trip part.1 (Bellinzona)

Orang-orang sering berkata bahwa untuk melihat keragaman di Swiss, belum lengkap jika belum ke bagian Swiss yang berbahasa Italia. Makanya, weekend kemarin (7-9 Oktober 2011) saya habiskan dengan sebuah trip ke kanton Ticino, satu-satunya kanton di Swiss yang berbahasa Italia. Oh ya, sedikit penjelasan bahwa kanton itu istilah pembagian wilayah, mungkin seperti 'provinsi' kalau di Indonesia.

3 hari memang bukan waktu yang panjang, jadi saat itu, tujuan saya dan teman-teman saya adalah tiga kota terbesar (dan terpenting) di Kanton Ticino, yaitu Bellinzona, Lugano dan Locarno. Dari namanya saja sudah tercium bau Italia-nya yaa?

Jadi, pada hari Jumat yang cerah, rombongan kami tiba di Bellinzona setelah menempuh perjalanan sekitar 2 setengah jam dari Bern. Kami dibuat terheran-heran dengan matahari Bellinzona yang bersinar terang, karena pada saat yang bersamaan, Bern dan kota-kota lain di seluruh belahan Swiss diguyur hujan. I think our trip was blessed, hehehe.

Salah satu tempat wisata menakjubkan yang ada di kota Bellinzona adalah tiga kastil besar yang menjadi ciri khas kota tersebut, sekaligus jadi warisan UNESCO. Tiga kastil ini sangat berpengaruh pada masa peperangan selama berabad-abad. Saat itu, kami berkunjung ke dua di antaranya, yaitu Castelgrando dan Castello di Sasso Sobaro.

Ada sejarahnya ternyata mengapa Bellinzona masuk wilayah Swiss, padahal kota tersebut awalnya dikuasai oleh keluarga bangsawan Milan di Italia. Pada awalnya, keluarga Visconti, yang menguasai Bellinzona, menjalin hubungan perdagangan baik dengan pihak Italia. Namun, setelah invasi Prancis di abad ke-16, Bellinzona dimasukkan ke wilayah Swiss bersama dengan dua tetangganya, Lugano dan Lucarno. Ini disebabkan karena pada saat itu Swiss dikuasai oleh pemimpin Prancis yang melegenda hingga kini, siapa lagi kalau bukan Napoleon Bonaparte.

So, here are some of the castle's photos:

mungkin ini lubang buat ngintip musuh udah sampai mana

bahkan rumput pun tumbuh di atap kastil dan membentuk jalan yang menuju ke tengah kota

view kota Bellinzona dari atas Castello di Sasso Sobaro

MP

Minggu, 02 Oktober 2011

Saturday Hiking

Andaikan aku bisa di sini selamanya untuk menikmatinya...
(Pelangi dan Matahari by BIP)

Pada tanggal 1 Oktober 2011, saya dan beberapa teman sesama penghuni asrama (studenthouse) Tscharnergut hiking ke salah satu lingkungan pedesaan di dekat Thun. Rutenya adalah mendaki ke atas gunung lalu turun lagi. Total jaraknya kurang lebih 30 kilometer, dan berlangsung selama sekitar 12 jam. It was the longest hike I've ever done in my life, but it was worth it. Khusus di postingan ini, saya akan berikan kesempatan kepada foto-foto untuk berbicara. :)


grup hiker ketika baru memulai perjalanan


look how international we were!


awalnya, puncak gunung yang kami tuju rasanya sedekat ini :D


what a scene, isn't it?


it's me, (almost) reaching the top :p


perjalanan turun pun terasa mengasyikkan, indahnya pemandangan danau ini adalah bonusnya :)


sampai di bawah, hari sudah gelap. Let's do it again!


MP

Eyes on Geneve

'When life flashes before your eyes, make sure you've got plenty to watch'
(unanymous)

Yeah, in big cities like Geneve, I bet there are plenty to watch.

Geneve, atau Geneva, atau terkadang ditulis Jenewa di beberapa media berbahasa Indonesia, adalah kota terbesar nomor 2 di Swiss. Beberapa orang Indonesia yang saya kenal datang ke kota ini guna mempelajari ilmu diplomatik atau politik. Bisa dipahami, karena beberapa organisasi dunia bertempat di sini. Seperti perwakilan United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan World Trade Organizations (WTO).

Saya datang ke Geneve setelah mengunjungi Lausanne. Dengan menggunakan kereta, Lausanne-Geneve dapat ditempuh hanya dalam waktu 45 menit.

Terbiasa tinggal di Bern dalam beberapa minggu terakhir membuat saya sedikit gegar ketika menginjakkan kaki di Geneve. Kota tersebut benar-benar berbeda dari Bern yang merupakan kota kecil yang bersahaja. Geneve sendiri merupakan kota yang dipenuhi jalan-jalan raya lebar dan banyak kendaraan pribadi lalu-lalang. Meskipun kemacetannya tidak separah Jakarta, namun tetap saja lalu lintas Geneve terasa mengganggu.

Namun bukan berarti tidak banyak yang bisa dinikmati di kota ini. Yah, untuk kunjungan pertama saya ke kota tersebut, tentu saja saya ingin berkunjung atau sekadar berfoto di depan gedung UN. Saya memuaskan diri dengan mengambil foto di bawah monumen 'The Broken Chair', yang menjadi ciri khas perwakilan UN di Geneve.


Seolah-olah ingin memperkukuh anggapan sebagai kota diplomatik, kita bisa melihat berbagai patung, monumen atau landmark yang dipersembahkan bagi para tokoh dunia. Patung Mahatma Gandhi atau hotel President Wilson yang namanya dipersembahkan bagi President USA Woodrow Wilson, bapak penggagas the League of Nations--cikal bakal United Nations adalah dua di antaranya.


Last but not least, saya senang jalan-jalan di Lausanne dan Geneva, karena di kedua kota ini, penduduknya berbicara dalam bahasa Prancis, salah satu bahasa yang saya kuasai. Tidak seperti di Bern atau Zurich, dimana penduduknya berbicara dengan bahasa Jerman plus dialek Swiss yang kental (Swiss-German).

MP

Lovely Lausanne

Lausanne adalah kota yang menjadi markas komite Olimpiade dunia. Saya mengunjungi kota ini pada tanggal 26 September 2011. Saya memberanikan diri jalan sendiri, for the sake of experience, hehehe.

Ternyata, mengeksplorasi Lausanne tidaklah sulit. Kota ini memiliki satu-satunya fasilitas metro, semacam MRT di Singapura. Dengan menggunakan transportasi umum ini, awalnya saya mengunjungi Ouchy, yaitu dermaga yang merupakan pinggiran Lake Lemac (Danau Geneve). Sayang, mungkin saya datang di saat yang salah, karena pada saat itu tidak banyak yang bisa dilihat selain birunya air danau dan kapal-kapal yang bersandar di tepi dermaga. Katanya, pada saat summer/musim panas, kita bisa menemui banyak festival musik, makanan maupun olahraga air. Namun pada saat saya berkunjung tersebut tidak banyak yang bisa dilihat.


Lain halnya ketika setelah itu saya datang ke Lausanne Cathedral. Saya sudah sering berkunjung ke beberapa gereja katedral sebelumnya, but I must say, this one is simply the best. Banyak hal yang membuat saya terkagum-kagum, antara lain ukiran di langit-langit katedral yang masih terawat baik maupun makam-makam kuno yang kondisinya masih bagus meskipun sudah berusia ratusan tahun.


Pada hari itu pun, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk mengunjungi Lausanne lagi suatu hari nanti. Aah, satu hari tidak pernah terasa cukup. :)

MP

Exploring Luzern


'...Lucerne yang dikelilingi benteng dan menara ini dibangun berkat tuntunan cahaya malaikat...'
(kutipan dari buku Life Traveler karya Windy Ariestanty)

Saya tiba di Bern pada tanggal 14 September 2011 dan pada tanggal 17 September, saya sudah berkelana ke Luzern.

Hampir semua orang Indonesia di Swiss (yang jumlahnya sama sekali tidak banyak) menganggap saya gila ketika mengetahui hal ini. Luzern, atau Lucerne dalam lafal Prancis, memang hanya 1 jam dari Bern naik kereta. Namun, tetap saja orang-orang mengerutkan dahi, mengapa saya tidak menghabiskan waktu untuk settle-in di Bern saja dulu sebelum pergi jalan-jalan mengunjungi kota lain.

Jawabannya adalah: Lake Lucerne.

Jika kalian meng-google atraksi wisata di Swiss, saya yakin hampir semua akan menyebutkan Danau Luzern. Kota ini memang indah. Begitu keluar dari stasiun kereta Luzern, kita akan langsung berhadapan dengan hamparan warna biru danau yang jernih. Saking jernihnya, tepat di ujung pandangan mata kita, berdampingan dengan deretan gunung pilatus, kita akan melihat biru danau tersebut seolah menyatu dengan birunya langit. Itu adalah Danau Luzern.

Maka, ketika rombongan kami (para mahasiswa Indonesia yang baru saja saya temui) memutuskan ingin naik ke perahu pariwisata untuk mengarungi Danau Luzern, saya senang bukan main.


It's an experience worth a lifetime.

Setelah puas naik perahu, kami berjalan-jalan kaki ke salah satu atraksi wisata terdekat. Itu adalah monumen The Dying Lyon. Patung berupa singa yang sedang sekarat ini dibangun pada abad ke-18. Kabarnya, patung ini didirikan untuk mengenang para tentara Swiss yang gugur di medan perang. Sampai sekarang, patung ini masih dalam kondisi bagus dan tetap terlihat mengharukan. Saat ini, di depan monumen tersebut ada sebuah kolam dimana para pengunjung melemparkan koin untuk berdoa atau memanjatkan harapan mereka.


Inilah yang mengagumkan dari Swiss. Yang menjadi atraksi utama bukanlah gedung-gedung pencakar langit atau struktur kota yang modern. Malah, kita dapat menikmati peninggalan sejarah yang sudah berusia berabad-abad. Saksi bisu dari peradaban manusia yang terus berkembang.

MP

Magical Bern


'...when you feel just like a tourist in the city you were born, then it's time to go...
and define your destination, there's so many different places to call home...'

(You Are A Tourist by Death Cab for Cutie)

14 September 2011 adalah hari pertama saya menginjakkan kaki di Bern, ibukota Swiss. Bukan, sebenarnya, hari itu adalah hari pertama saya menginjakkan kaki di dataran Eropa. Ya, finally, after years of days and nights dreaming about coming to Europe, this chance finally came. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya akan kuliah di Universitaet Bern, atau University of Bern untuk program Master of Science in Business Administration (M.Sc BA).

Sebelum saya berangkat, banyak orang mengerutkan kening ketika mendengar saya akan kuliah di Swiss. Mengapa Swiss? Mengapa bukan Jerman, Belanda atau Inggris/UK?

Well, itu mengingatkan saya ketika memperoleh kesempatan buat exchange ke Australia, empat tahun lalu (2007). Banyak orang geleng-geleng kepala ketika mengetahui saya memilih kota Newcastle sebagai tujuan, bukan nama-nama yang lebih 'mainstream' seperti Sydney atau Melbourne, misalnya.

The thing is, I just like to choose my own destination. I guess I like to be somewhere that's not many people think they will be. After all, Switzerland is really really nice.

Okay, mari kita bahas yang paling dekat dulu: Bern.

Bern dipilih menjadi ibukota Swiss, kabarnya tanpa alasan spesial. Sederhana saja, karena kota tersebut berada di tengah-tengah negara yang sebenarnya sangat kecil itu. Asal-muasal nama kota Bern juga sangat unik. Konon, penguasa wilayah pada saat kota Bern dideklarasikan, bingung memilih nama yang cocok untuk daerah kekuasaannya. Jadi, buat refreshing, dia pergi berburu, dan hewan hasil buruannya yang pertama adalah seekor beruang (bear). Setelah itu, mungkin sang penguasa berpikir, eh keren juga nih nama beruang dijadikan nama kota. Akhirnya sampai sekarang nama itu melekat, dengan seekor beruang sebagai simbol kota tersebut.

Luas kota Bern hanya 51 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 125-ribu (dibandingin ama Jakarta nggak ada apa-apanya, hehehe). Atraksi pariwisata yang utama berada di seputar kota, jadi tidak mustahil untuk puas 'membabat' habis Bern dalam setengah hari. Namun, bukan berarti Bern lantas menjadi membosankan. Banyak pemandangan menarik yang bisa disaksikan seperti lokasi di sekitar Sungai Aare.

Pada saat saya pertama kali tiba di Bern, musim gugur baru saja tiba. Sungai Aare terlihat seolah-olah seorang gadis muda yang sedang cantik-cantiknya. Permukaannya yang berwarna biru jernih memantulkan cahaya matahari. A little piece of heaven! :)

Oh ya, yang menarik adalah, orang-orang Bern selalu membanggakan Einsteinhaus, yaitu rumah yang pernah menjadi tempat kediaman ilmuwan kesohor Albert Einstein. Yap, Einstein pernah tinggal di Bern pada tahun 1902 sampai 1909. Di sinilah teori relativitas mulai dikembangkan.


Sampai di sini dulu ya, cerita tentang Bern. Saya tinggal di kota ini kok, jadi tentu saja akan menyusul cerita-cerita baru tentang ibukota Swiss ini.

MP

Reviving the Blog


Blog traveling ini sebenarnya sudah lama saya buat. Tapi, karena kesempatan buat traveling tidak banyak, maka blog ini lama ditelantarkan. Blog ini pada awalnya saya beri nama http://mahirberpetualang.blogspot.com (jangan ketawa! :D) namun akhirnya saya ganti menjadi http://letsgomaheer.blogspot.com.

Sekarang, blog ini ingin saya aktifkan untuk merekam jejak perjalanan saya setelah memulai suatu babak kehidupan baru di Swiss, tepatnya di kota Bern untuk melanjutkan pendidikan. Pastinya, saya tidak akan banyak bercerita tentang kuliah saya di sini, tapi akan lebih banyak menulis tentang pengalaman jalan-jalan dari satu tempat ke tempat lain.

This blog will also be one of the connectors between me and my readers, next to my usual/daily blog http://maheergrant.blogspot.com . So, I hope you guys enjoy it, because during my journey, I always think about you all :)
Best regards,

Mahir Pradana